Maret 29, 2012

Tulip Putih Tak Terucap

Fujiki. Tak ada yang benar-benar spesial dari dirinya, dia berlaku normal selayaknya siswa sekolah menengah lainnya. Dia bukanlah anak klub basket ataupun seorang anggota klub sains. Dia tidak menarik diri dan tidak juga memposisikan diri di pusat afeksi. Bukan pemurung namun tak juga periang.




Dia tersenyum seperlunya, tak berlebihan. Tak ada kesan keren dan dingin, hanya benar-benar biasa.

when your cold words reach my heart
in my eyes, without me knowing wet dew drops


"Kamu sudah nggak perlu mama lagi, ya?"

Tak ada jawaban. Bukankah selama ini, wanita itu yang ingin dia mandiri dan tidak bergantung pada orang lain? Lalu mengapa pernyataan tadi lolos begitu mudah dari lisannya? Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam, setelah satu jam membersihkan lantai atas Fujiki turun ke dapur untuk mengambil segelas air. Dan berakhir dengan hening dimeja makan seusai vonis dari ibunya.

Di dalam gelas itu muncul riak air. Gemetar.

Suara pintu yang ditutup menjadi akhir dari ketegangan yang sempat terjadi. Ibunya meninggalkan dia di meja dapur. Ekspresi yang tampak diwajahnya bertolak belakang dengan apa yang ada di dalam pikirannya, rumit.


Fujiki Pov.
Jam makan malam telah usai. Yang ada tersisa hanya ayah dan aku. Hari ini ibu dan Daisuke berkunjung ke rumah sakit lagi, paman harus menjalani rawat inap akibat infeksi hati. Berantakan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi rumah saat ini. Ayah sedang mengecat dinding dilantai 2, menyebabkan beberapa bagian dilantai terkena cat. Debu tak luput dari indra peraba, mungkin tidak terlalu tebal namun sangat tidak nyaman.

Setelah ayah selesai dengan dindingnya, kuambil lap basah untuk membersihkan seluruh lantai atas. Kulihat ayah juga membantu membersihkan noda cat yang susah hilang. Tak lama setelah itu, kudengar suara seseorang dari ruang tamu. Ah, ibu sudah pulang.

Lantas akupun mandi malam, karena keringat yang berlebihan setelah membersihkan seluruh lantai 2. Segera setelah berpakaian, aku turun ke dapur karena rasa haus.

Sambil berlalu, kulihat ibuku sedang menemani Daisuke untuk tidur. Setidaknya ibu tak akan mengomel masalah lantai 2 karena sudah rapi. Kutarik kursi meja makan dan duduk disitu sambil menegak air. Aku duduk membelakangi ruang tengah sehingga orang-orang hanya akan melihat punggungku.

dan suara itu..
"Kamu sudah nggak perlu mama lagi, ya?"
Fujiki Pov End

.
.
how if I cannot see you again? then how can I?
tommorow morning when I unknowingly reach for the telephone, what will I do then?


Salah jika kau kira Fujiki sedang dalam keadaan baik. Ada sesuatu dalam dirinya yang sulit untuk diperbaiki.
Jika mengungkapkan kata-kata terasa mudah, mengapa dia masih bisu?
Jika bertindak dapat membuktikan lebih dari kata-kata, mengapa masih tak berkutik?
Bahkan pada ibunya sendiri.

"Ibu, saya minta maaf atas perbuatan saya kemarin." ucapnya sambil memeluk tubuh wanita yang melahirkannya itu.
Namun, itu hanyalah skenario manis yang tergambar dalam fantasinya. Tidak nyata. Bahkan dia sebenarnya bingung, meminta maaf untuk tindakan apa? Apa yang salah sehingga ibunya berkata demikian?

Orang berkata mengendalikan emosi itu sangatlah sulit, namun Fujiki sangat mahir dalam urusan itu. Tapi walaupun diam adalah emas, hal semacam ini perlu dibicarakan bukan didiamkan. Bayangan terjauh yang dapat Fujiki bayangkan adalah ketika orangtuanya pergi—selamanya, dia bahkan belum meminta maaf atas kelakuannya selama ini. Entah kelakuan baik atau buruk.

Lebih baik mendengar kritikan atau melihat ibu sedang menemai Daisuke mengerjakan tugas. Sekalipun Fujiki berfikir bahwa ibunya tidak suka padanya, itu masih lebih baik daripada tak bisa melihat atau mendengar suara 'pahit' dari ibunya. Bukankah tandanya beliau masih peduli? Masih memperhatikan sikap anaknya? Mungkin Fujiki harus segara membahas hal ini, secepatnya sebelum kemungkinan terburuk terjadi.

If evolution really works, how come mothers only have two hands?
Milton Berle

p.s: I love you, mother.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar